Minggu, 26 April 2020

Pain is Normal, but Suffering is Optional

Belajar memaafkan

Assalamu'alaikum Warrahmatullah Wabarakatuh

Hai! Berhubung hari ini sedang dilanda rasa sedih, kuputuskan untuk menulis tentang rasa sedih serta nasihat untuk diriku sendiri agar keluar dari jerat kesedihan ini :)

~~~

Ada kalanya kita marah, kecewa, dan sedih atas apa yang orang lain lakukan. Apalagi kalau orang lain itu adalah orang terdekat kita yang seharusnya melindungi, menghargai, atau menyayangi kita.

Emosi itu akan semakin terakumulasi saat kita secara konstan menerima perlakuan tidak baik tersebut selama bertahun-tahun atau mungkin selama lebih dari separuh umur kita. Membuat perasaan marah, kecewa, dan sedih semakin menjadi-jadi hingga kita ada di titik dimana kita merasa menderita dan tidak nyaman.

Seseorang pernah berkata padaku bahwa kunci untuk menghilangkan emosi negatif tersebut adalah dengan dimulai dari "memaafkan"

Dan benar apa yang dikatakannya, memaafkan tidak hanya membantu kita untuk berdamai dengan subjek yang telah "menyakiti" kita, melainkan lebih utamanya berdamai dengan diri kita sendiri.

Kenapa?
Jika kita tilik lebih jauh, memaafkan pada dasarnya adalah demi kesehatan jiwa kita sendiri, bukan demi orang lain. Memaafkan berarti kita menerima kesalahannya dan melepaskan kemarahan atau dendam. Pemaafan sejatinya adalah upaya self-care untuk diri kita sendiri agar tidak terjerat rasa sakit berkelanjutan.

Apa maksudnya pemaafan adalah self-care?
Kecewa, sakit hati, dan marah itu adalah reaksi normal saat kita dilanggar atau dilukai. Namun reaksi-reaksi itu bisa berangsur mereda, kecuali KITA SENGAJA (ATAU TANPA SENGAJA) memperpanjangnya. Atas dasar itu, memaafkan adalah upaya proaktif kita untuk memicu, memproses, dan mempercepat peredaan rasa sakit (hati) agar tidak berkepanjangan. Memaafkan adalah keputusan untuk berhenti menyimpan kemarahan, kebencian, pemikiran negatif, dan sebagainya; karean sadar bahwa hal tersebut akan MEMPERPARAH rasa sakit yang ada.

Ada suatu istilah berbahasa inggris yang sepertinya tepat untuk menggambarkan masalah ini yaitu Ruminating. 

"Ruminating are excessive and intrusive thoughts about negative experiences and feelings"

Jujur sulit untuk menemukan apa padanan 1 kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk kata ini, namun jika berusaha untuk diterjemahkan kurang lebih seperti ini "Berulang-ulang membayangkan masalah serta menerka-nerka berbagai alasan, faktor, dan kejadian di sekelilingnya". Hal ini benar-benar akan semakin memperpanjang dan memperparah sakit. Sikap ruminating itulah yang biasanya OTOMATIS kita lakukan saat dilukai oleh orang lain, makanya kita merasa jauh lebih parah dan sengsara daripada yang sebenarnya terjadi. Sayangnya, perilaku ruminating ini sulit sekali disadari dan cukup sulit juga untuk dikurangi. -Berlaku pula untukku.

Belajar memaafkan
The Trap of Ruminating

Jika sikap ruminating ini sangat berlebihan hingga kita sendiri tidak dapat mengontrolnya dan membuat sulit merasakan kebahagiaan, mungkin itulah saat dimana kita harus menghubungi profesional seperti psikolog atau psikiater. Bahkan telah diteliti bahwa ada korelasi yang kuat antara sikap ruminating dengan mental health problem baik itu memicu ataupun memperparah mental health problem yang sudah ada. Berikut adalah beberapa penelitian yang menjelaskan bagaimana ruminating bisa memicu PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) dan pembuatan suatu model untuk menghubungkan antara depresi, ruminating, dan stressor (pemicu stress). 

Belajar memaafkan

Alirkanlah emosi

Tentunya kita ingin hidup kita dijauhkan dari kesedihan, kekecewaan, dan berbagai macam emosi negatif, apalagi terkena mental health problem, sebaiknya tidak usah. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa kitalah yang bisa memilih apakah kita ingin terus terluka atau tidak. Kita adalah yang membuat keputusan. Marilah membuat keputusan untuk berdamai dengan diri kita.

Salah satu caranya bisa dengan melepaskan emosi kita. Seseorang pernah memberitahu bahwa kita bisa memulainya dengan berlatih mengelola emosi dengan cara melepaskan dan tidak menahannya. Semakin banyak emosi yang tertahan akan semakin sulit untuk mengelolanya, ibarat seperti banjir yang terjadi karena banyaknya air yang datang namun tertahan karena saluran air yang kecil. Tentu kita akan sulit mengendalikannya bukan?

Ada banyak cara yang bisa kita lakukan. Misal dengan memiliki jurnal emosi dimana kita bisa mencurahkan semua emosi yang kita rasakan tiap hari di masa-masa terberat kita. Bisa juga dengan art therapy dimana kita membuat 1 karya entah itu lukisan, sketsa, atau tulisan untuk membantu kita mengalirkan emosi yang ada (ya, tulisan ini adalah usaha yang kulakukan untuk mengalirkan emosi). 

Cara  terbaik lainnya adalah apabila kita memiliki teman dekat yang bisa kita hubungi atau telfon untuk dijadikan support system saat kita sedang down. Tentunya apabila posisinya dibalik: kita berada di posisi sebagai si support system, maka kita cukup mendengarkan cerita teman kita saja tanpa menghakimi mereka. Yap karena mereka hanya butuh didengarkan bukan di salah-salahkan. (Untuk hal ini aku ingin bercerita satu pengalaman.  Ada satu waktu dimana aku menerima kabar yang benar-benar membuat sedih, marah, kesal, takut, dan khawatir bercampur jadi satu. Saat itu posisiku sedang di bandara, sendirian & bingung. Tanpa babibu, aku langsung menelpon teman dekatku dan mencurahkan segala kebingungan dan kesedihan yang ada. Alhamdulillah, aku memiliki teman dekat yang begitu baik. Tak sedikitpun dia melontarkan kata-kata yang menghakimiku, namun justru kata-katanya membuat hatiku tenang dan tidak khawatir lagi. Sebenarnya malu juga kalau dibayangkan momen saat itu: ada gadis -duduk di antara pohon-pohon di spot foto instagrammable bandara- sedang menelpon dengan air mata yang mengalir, macam orang abis diputus cinta via telpon aja. Saking fokusnya curhat, sampai kelupaan kalau gate masuk akan ditutup, dan ya hasilnya ketinggalan pesawat :" Anehnya saat itu aku merasa tidak masalah dan tidak menyesal sama sekali saat mengetahui ketinggalan pesawat. Aku berpikir bahwa yang terpenting saat itu adalah hatiku yang tenang. Tidak bisa membayangkan juga bagaimana bisa melalui penerbangan 2 jam dengan hati yang runyam).

Terapi lainnya adalah dengan menyiapkan toples dan sticky notes, jadi saat kita merasakan keberuntungan atau kebahagiaan, kita bisa tuliskan di notes lalu gulung dan masukkan ke toples. Selanjutnya kita bisa buka setiap periode tertentu, misal: setiap bulan, dan kita baca kembali. Bahkan saat menuliskan ini saja, aku sudah membayangkan adegan kebahagiaan dan ulasan senyum yang akan muncul saat membaca satu demi satu gulungan kertas. Intermezzo--Adegan ini mengingatkanku pada salah satu scene di film A Millionaire First Love dimana saat itu si Om Hyun-Bin memberikan satu toples berisi kapsul gulungan kertas yang harus dibaca oleh mbak-mbak gebetannya setiap hari. Gulungan itu berisi kata-kata positif dan kata-kata cinta untuk si gebetannya. Om Hyun-Bin menyebut gulunagn tersebut sebagai "obat" dengan dosis satu kali setiap hari, karena di saat itu posisi gebetannya sedang sakit keras. Duh, gimana nggak tersentuh coba?

Belajar memaafkan
Wondering why I like you, I miss you. It's a disease

Selanjutnya cara lain adalah dengan melakukan random aktivitas positif, misalnya dengan memberikan nasi padang kepada seorang pengemis, membelikan ayam untuk kucing di jalanan, menyingkirkan batu yang ada di tengah jalan, membantu ibu kos merapikan sepatu dan sandal di depan kos, dan lain-lain. 

Hal ini tentunya selain membantu menghilangkan emosi negatif, juga akan membantu kita untuk memahami bahwa kita memiliki arti dan kebermaknaaan hidup. Bahwa kita seharusnya lebih memikirkan apa yang kita punya daripada apa yang kita tidak punya.

Nah itu dia sepenggal tulisan dan curahan hati tentang rasa sakit dan memaafkan. Semoga bermanfaat :)

Pain is normal, but Suffering is Optional



Tulisan ini ditulis di siang hari
dikala masa self-distancing aka pembatasan diri
- ceasafira -



Sumber:
  • Hosseinichimeh, N., Wittenborn, A.K., Rick, J., M.S., & Rahmandad, H. (2018). Modelling and estimating the feddback emchanisms among depressions, rumination, and stressors in adolescents. PLOS ONE, 13(9), e0204389. doi:10.1371/journal.pone.0204389
  • Claycomb, M. A., Wang, L., Sharp, C., Ractliffe, K.C., & Elhaj, J.D. (2015). Assessing Relations between PTSD's Dysphoria and Reexperiencing Factors and Dimensions of Rumination. PLOS ONE, 10(3), e0118435. doi:10.1371/journal.pone.0118435
  • https://www.medicalnewstoday.com/articles/326944#when-to-see-a-doctor
  • https://www.bbc.com/news/magazine-24444431

2 komentar: