Minggu, 26 April 2020

Pain is Normal, but Suffering is Optional

Belajar memaafkan

Assalamu'alaikum Warrahmatullah Wabarakatuh

Hai! Berhubung hari ini sedang dilanda rasa sedih, kuputuskan untuk menulis tentang rasa sedih serta nasihat untuk diriku sendiri agar keluar dari jerat kesedihan ini :)

~~~

Ada kalanya kita marah, kecewa, dan sedih atas apa yang orang lain lakukan. Apalagi kalau orang lain itu adalah orang terdekat kita yang seharusnya melindungi, menghargai, atau menyayangi kita.

Emosi itu akan semakin terakumulasi saat kita secara konstan menerima perlakuan tidak baik tersebut selama bertahun-tahun atau mungkin selama lebih dari separuh umur kita. Membuat perasaan marah, kecewa, dan sedih semakin menjadi-jadi hingga kita ada di titik dimana kita merasa menderita dan tidak nyaman.

Seseorang pernah berkata padaku bahwa kunci untuk menghilangkan emosi negatif tersebut adalah dengan dimulai dari "memaafkan"

Dan benar apa yang dikatakannya, memaafkan tidak hanya membantu kita untuk berdamai dengan subjek yang telah "menyakiti" kita, melainkan lebih utamanya berdamai dengan diri kita sendiri.

Kenapa?
Jika kita tilik lebih jauh, memaafkan pada dasarnya adalah demi kesehatan jiwa kita sendiri, bukan demi orang lain. Memaafkan berarti kita menerima kesalahannya dan melepaskan kemarahan atau dendam. Pemaafan sejatinya adalah upaya self-care untuk diri kita sendiri agar tidak terjerat rasa sakit berkelanjutan.

Apa maksudnya pemaafan adalah self-care?
Kecewa, sakit hati, dan marah itu adalah reaksi normal saat kita dilanggar atau dilukai. Namun reaksi-reaksi itu bisa berangsur mereda, kecuali KITA SENGAJA (ATAU TANPA SENGAJA) memperpanjangnya. Atas dasar itu, memaafkan adalah upaya proaktif kita untuk memicu, memproses, dan mempercepat peredaan rasa sakit (hati) agar tidak berkepanjangan. Memaafkan adalah keputusan untuk berhenti menyimpan kemarahan, kebencian, pemikiran negatif, dan sebagainya; karean sadar bahwa hal tersebut akan MEMPERPARAH rasa sakit yang ada.

Ada suatu istilah berbahasa inggris yang sepertinya tepat untuk menggambarkan masalah ini yaitu Ruminating. 

"Ruminating are excessive and intrusive thoughts about negative experiences and feelings"

Jujur sulit untuk menemukan apa padanan 1 kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk kata ini, namun jika berusaha untuk diterjemahkan kurang lebih seperti ini "Berulang-ulang membayangkan masalah serta menerka-nerka berbagai alasan, faktor, dan kejadian di sekelilingnya". Hal ini benar-benar akan semakin memperpanjang dan memperparah sakit. Sikap ruminating itulah yang biasanya OTOMATIS kita lakukan saat dilukai oleh orang lain, makanya kita merasa jauh lebih parah dan sengsara daripada yang sebenarnya terjadi. Sayangnya, perilaku ruminating ini sulit sekali disadari dan cukup sulit juga untuk dikurangi. -Berlaku pula untukku.

Belajar memaafkan
The Trap of Ruminating

Jika sikap ruminating ini sangat berlebihan hingga kita sendiri tidak dapat mengontrolnya dan membuat sulit merasakan kebahagiaan, mungkin itulah saat dimana kita harus menghubungi profesional seperti psikolog atau psikiater. Bahkan telah diteliti bahwa ada korelasi yang kuat antara sikap ruminating dengan mental health problem baik itu memicu ataupun memperparah mental health problem yang sudah ada. Berikut adalah beberapa penelitian yang menjelaskan bagaimana ruminating bisa memicu PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) dan pembuatan suatu model untuk menghubungkan antara depresi, ruminating, dan stressor (pemicu stress). 

Belajar memaafkan

Alirkanlah emosi

Tentunya kita ingin hidup kita dijauhkan dari kesedihan, kekecewaan, dan berbagai macam emosi negatif, apalagi terkena mental health problem, sebaiknya tidak usah. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa kitalah yang bisa memilih apakah kita ingin terus terluka atau tidak. Kita adalah yang membuat keputusan. Marilah membuat keputusan untuk berdamai dengan diri kita.

Salah satu caranya bisa dengan melepaskan emosi kita. Seseorang pernah memberitahu bahwa kita bisa memulainya dengan berlatih mengelola emosi dengan cara melepaskan dan tidak menahannya. Semakin banyak emosi yang tertahan akan semakin sulit untuk mengelolanya, ibarat seperti banjir yang terjadi karena banyaknya air yang datang namun tertahan karena saluran air yang kecil. Tentu kita akan sulit mengendalikannya bukan?

Ada banyak cara yang bisa kita lakukan. Misal dengan memiliki jurnal emosi dimana kita bisa mencurahkan semua emosi yang kita rasakan tiap hari di masa-masa terberat kita. Bisa juga dengan art therapy dimana kita membuat 1 karya entah itu lukisan, sketsa, atau tulisan untuk membantu kita mengalirkan emosi yang ada (ya, tulisan ini adalah usaha yang kulakukan untuk mengalirkan emosi). 

Cara  terbaik lainnya adalah apabila kita memiliki teman dekat yang bisa kita hubungi atau telfon untuk dijadikan support system saat kita sedang down. Tentunya apabila posisinya dibalik: kita berada di posisi sebagai si support system, maka kita cukup mendengarkan cerita teman kita saja tanpa menghakimi mereka. Yap karena mereka hanya butuh didengarkan bukan di salah-salahkan. (Untuk hal ini aku ingin bercerita satu pengalaman.  Ada satu waktu dimana aku menerima kabar yang benar-benar membuat sedih, marah, kesal, takut, dan khawatir bercampur jadi satu. Saat itu posisiku sedang di bandara, sendirian & bingung. Tanpa babibu, aku langsung menelpon teman dekatku dan mencurahkan segala kebingungan dan kesedihan yang ada. Alhamdulillah, aku memiliki teman dekat yang begitu baik. Tak sedikitpun dia melontarkan kata-kata yang menghakimiku, namun justru kata-katanya membuat hatiku tenang dan tidak khawatir lagi. Sebenarnya malu juga kalau dibayangkan momen saat itu: ada gadis -duduk di antara pohon-pohon di spot foto instagrammable bandara- sedang menelpon dengan air mata yang mengalir, macam orang abis diputus cinta via telpon aja. Saking fokusnya curhat, sampai kelupaan kalau gate masuk akan ditutup, dan ya hasilnya ketinggalan pesawat :" Anehnya saat itu aku merasa tidak masalah dan tidak menyesal sama sekali saat mengetahui ketinggalan pesawat. Aku berpikir bahwa yang terpenting saat itu adalah hatiku yang tenang. Tidak bisa membayangkan juga bagaimana bisa melalui penerbangan 2 jam dengan hati yang runyam).

Terapi lainnya adalah dengan menyiapkan toples dan sticky notes, jadi saat kita merasakan keberuntungan atau kebahagiaan, kita bisa tuliskan di notes lalu gulung dan masukkan ke toples. Selanjutnya kita bisa buka setiap periode tertentu, misal: setiap bulan, dan kita baca kembali. Bahkan saat menuliskan ini saja, aku sudah membayangkan adegan kebahagiaan dan ulasan senyum yang akan muncul saat membaca satu demi satu gulungan kertas. Intermezzo--Adegan ini mengingatkanku pada salah satu scene di film A Millionaire First Love dimana saat itu si Om Hyun-Bin memberikan satu toples berisi kapsul gulungan kertas yang harus dibaca oleh mbak-mbak gebetannya setiap hari. Gulungan itu berisi kata-kata positif dan kata-kata cinta untuk si gebetannya. Om Hyun-Bin menyebut gulunagn tersebut sebagai "obat" dengan dosis satu kali setiap hari, karena di saat itu posisi gebetannya sedang sakit keras. Duh, gimana nggak tersentuh coba?

Belajar memaafkan
Wondering why I like you, I miss you. It's a disease

Selanjutnya cara lain adalah dengan melakukan random aktivitas positif, misalnya dengan memberikan nasi padang kepada seorang pengemis, membelikan ayam untuk kucing di jalanan, menyingkirkan batu yang ada di tengah jalan, membantu ibu kos merapikan sepatu dan sandal di depan kos, dan lain-lain. 

Hal ini tentunya selain membantu menghilangkan emosi negatif, juga akan membantu kita untuk memahami bahwa kita memiliki arti dan kebermaknaaan hidup. Bahwa kita seharusnya lebih memikirkan apa yang kita punya daripada apa yang kita tidak punya.

Nah itu dia sepenggal tulisan dan curahan hati tentang rasa sakit dan memaafkan. Semoga bermanfaat :)

Pain is normal, but Suffering is Optional



Tulisan ini ditulis di siang hari
dikala masa self-distancing aka pembatasan diri
- ceasafira -



Sumber:
  • Hosseinichimeh, N., Wittenborn, A.K., Rick, J., M.S., & Rahmandad, H. (2018). Modelling and estimating the feddback emchanisms among depressions, rumination, and stressors in adolescents. PLOS ONE, 13(9), e0204389. doi:10.1371/journal.pone.0204389
  • Claycomb, M. A., Wang, L., Sharp, C., Ractliffe, K.C., & Elhaj, J.D. (2015). Assessing Relations between PTSD's Dysphoria and Reexperiencing Factors and Dimensions of Rumination. PLOS ONE, 10(3), e0118435. doi:10.1371/journal.pone.0118435
  • https://www.medicalnewstoday.com/articles/326944#when-to-see-a-doctor
  • https://www.bbc.com/news/magazine-24444431

Jumat, 24 April 2020

Hari Pertama Ramadhan 1441 H

Assalamu'alaikum Warrahmatullah Wabarakatuh

Ramadan 1441 H

Beberapa kali aku mendengar selentingan bahwa kebanyakan wanita suka mengingat-ngingat kenangan dan kemudian cenderung untuk meromantisasinya. Seperti seseorang gadis yang tak bosan untuk pulang kampung ke rumah orang tuanya untuk sekedar melepas rindu dengan pohon kersen yang sering ia panjat saat masih kecil atau sekedar bersepeda berputar-putar mengitari persawahan untuk kembali membangkitkan kenangan di waktu pulang sekolah dulu saat bersepeda ditiup semilir angin serta disambut aroma pembakaran balok-balok tanah liat yang akan dijadikan bata. Bagi orang lain mungkin tak ada yang istimewa dengan hal tersebut, tapi bagi si gadis kenangan-kenangan kecil itulah yang akan membuatnya tak bosan dan tak sabar untuk pulang kembali ke rumah (-tentunya selain ingin bertemu orang tua). Jadi apakah aku setuju dengan pernyataan bahwa "wanita suka mengingat-ngingat kenangan dan kemudian cenderung untuk meromantisasinya"? Ya, sepertinya iya -setidaknya itu berlaku untuk diriku sendiri.

Di hari ini, Hari Jum'at, tanggal 1 Ramadan 1441 H; otakku memerintahkan dirinya sendiri untuk membangkitkan kenangan bulan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya yang semarak. Ya, Ramadhan tahun ini begitu berbeda, maksudku suasananya. Suara lantunan bacaan sholat tarawih yang bergaung di speaker masjid serta deretan penjaja takjil dan lauk pauk untuk buka puasa atau sahur yang berderet di jalanan, kini tidak lagi aku menemukannya, -setidaknya di daerah tempat tinggalku. 

Ya, aku kangen suasana Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Tak kusangka kenangan-kenangan itu akan begitu berarti di kala Ramadhan tahun ini, dimana kami semua diharuskan berdiam diri dan melaksanakan ibadah di rumah. Mungkin ramadhan kali ini tak akan ada lagi undangan berkumpul untuk buka puasa dari semua kalangan teman entah itu teman TK, SD, SMP, SMA, kuliah, kerja, paguyuban, asrama, kosan, geng A, geng B, dan banyaaak lagi yang mungkin sebelumnya membuat kantong kita semua kering. Bahkan mungkin shalat ied tahun ini pun belum tentu kami rasakan dengan sholat berjama'ah di masjid atau lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan halal bi halal ke tetangga dan sanak saudara. 

Sekarang aku jadi kangen untuk melakukan semua itu. Izinkan aku untuk membangkitkan kenangan Ramadan 3 tahun terakhir.

Aku kangen Ramadan tahun 2017 

Aku kangen Ramadan tahun 2017 dimana di saat itu aku menghabiskan 2 minggu Ramadan bersama temanku Yayas di Karanganyar, saat itu kami melaksanakan kerja praktik. Selama disana, kami menginap di rumah kosong milik teman orang tua Yayas, di sebuah desa dekat dengan Pabrik Gula Colomadu, pabrik gula yang sudah ada sejak 1861 dan pernah jaya di masa penjajahan Belanda dulu. Mungkin dikarenakan lokasi penginapan kami yang ada di pedesaan, membuat suasana ramadan saat itu terasa syahdu & berkesan. 
Foto Pabrik Gula Colomadu tahun 2018 yang sudah direvitalisasi
Aku kangen dimana tiap malam sambil memakai mukenah kami berdua mengendarai sepeda melewati hamparan sawah dengan penerangan jalan yang seadanya. Teringat saat kami mempercepat kayuhan pedal saat harus melewati suatu rumah yang dijaga anjing galak -yang selalu menggonggong saat kami lewat. Ingat sekali di hari ketiga aku tarawih, sepeda yang biasa kukendarai untuk berangkat tarawih hilang dimaling orang di parkiran masjid. Sejak saat itu, aku sering mendengar bisik-bisik di kala tarawih dari ibu-ibu atau anak-anak yang membicarakanku "Itu lho, mbak yang dari Jakarta yang sepedanya hilang" atau malah ada yang terang-terangan menghampiriku "Kamu mahasiswa dari Jakarta yang sepedanya hilang ya?", sepertinya dari respon mereka, aku adalah korban pertama  kasus kemalingan di desa itu (?) hehehe. Sejak saat itu pula, pemerintah Desa tersebut membangun portal di beberapa jalan untuk mencegah kemalingan lagi, yap sekitar 3 hari setelah kejadian kemalinganku, kutemui di beberapa jalan tiba-tiba sudah dipasangi portal saja. Bayangkan kehadiran si mahasiswa dari ibukota ini tiba-tiba membuat perubahan secara tidak langsung di suatu desa? (Fyi sejak saat itu, aku tetap naik sepeda saat berangkat tarawih, bedanya kali ini tidak sendiri-sendiri melainkan berboncengan dengan temanku).

Aku juga kangen dengan suara lantunan Al Qur'an setiap sehabis maghrib dan sepulang tarawih dari Yayas atau Dek Novi (anak umur 10 tahun, tetangga depan rumah tempat kami menginap yang sering main ke tempat kami). Kangen setiap pulang tarawih, menemani Dek Novi mampir ke warung dekat masjid buat sekedar membeli es fanta atau es krim atau terkadang kami harus menasihatinya setiap Dek Novi ingin membeli berbagai macam jenis petasan. Kangen membeli makanan berbuka setiap pulang magang di depan Stadion Manahan Solo yang harga-harganya membuat syok saking murahnya bila dibandingkan dengan harga di ibukota. Kangen main make up make up an sama Dek Novi buat ngabuburit nunggu waktu berbuka puasa. Kangen bantuin Dek Novi mengerjakan PR matematikanya. Kangen kami bertiga zumba malam-malam sehabis tarawih. Kangen juga di saat kami bertiga berboncengan mengendarai motor butut yang tarikan gas-nya sudah endat-endut untuk membeli takjil dekat rumah, membeli STMJ (susu telur madu jahe) ke Surakarta, atau mengambil uang di ATM yang sayangnya lokasi ATM terdekat ada di sebuah mall di Kota Boyolali hahaha jauh bat.  

Aku kangen Ramadan tahun 2018

Aku kangen Ramadan tahun 2018. Itu adalah ramadan terakhirku sebagai mahasiswa S1 di UI. Hal-hal yang menjadi favoritku saat menjalankan ramadan selama berkuliah di UI adalah bagaimana aku dengan teman-teman se-kontrakanku keluar mencari ta'jil terutama di daerah perempatan dekat RS Graha Permata Ibu. Setiap Ramadhan, daerah tersebut benar-benar ramai dipenuhi oleh penjaja ta'jil dan makanan lauk pauk. Sayangnya di tahun ini dipastikan penjaja ta'jil itu tidak ada, bukan saja karena korona, melainkan juga kini tempat tersebut sudah berubah menjadi jalan tol kukusan. Ada 1 penjual favorit yang dulunya berhabitat disitu yang sayangnya sekarang aku tidak tahu pindah kemana abangnya, yaitu penjual bubur kacang ijo madura. Yes, dulu aku dan teman-teman senge-fans itu sama bubur kacang ijo karya abangnya, kami membelinya selepas sholat tarawih, itu beneran bubur kacang ijo terenak di Kukusan deh. Aku sendiri adalah fans bubur kacang ijo, sudah banyak warteg dan warkop di Kukusan yang kudatangi untuk sekedar mencicipi bubur kacang ijonya, sayangnya selalu ada kekurangan seperti kuahnya yang terlalu kental, kacang ijonya yang terlalu hancur, rasanya yang hambar, dan lain-lain. Intinya bubur kacang ijo madura yang dulu habitatnya di daerah gerbang tol kukusan, adalah bubur kacang ijo terenak di seantero kukusan!
Masjid UI
Hal favorit lainnya menghabiskan ramadan di lingkungan UI adalah shalat tarawih di MUI (Masjid Ukhuwah Islamiyah) UI. Entah karena apa, rasa dan atmosfirnya berbeda saat menunaikan tarawih di sana, meskipun kami tahu untuk menuju kesana, haruslah sedikit repot dengan naik bikun atau naik motor. Bisa jadi juga karena lantunan bacaan sholat yang sangat merdu dari imamnya yang tentunya semakin mendinginkan kalbu. Yap, MUI memang memiliki kebijakan menggilir imam shalat tarawih, biasanya berasal dari qari' mahasiswa UI yang sudah pernah menang lomba tilawah Al Qur'an, jadi ya wajar suaranya merdu-merdu. Temenku ulpeh yang bahkan baru mendengar lantunan takbir imam-nya saja langsung berkomentar "Cea, suara imamnya lembut banget". Sebenarnya di MUI ada banyak sekali kegiatan saat bulan Ramadhan termasuk di antaranya ifthar, kajian tematik rutin tiap hari dan pesantren Ramadhan. 

Selanjutnya hal favorit lainnya saat ramadan adalah adanya keberadaan pasar malam di Kukusan. Sekali lagi posisi pasar malam ini adalah di daerah yang sekarang sudah menjadi tol Kukusan. Bagaimana bentuk pasar malamnya? Seperti pasar malam pada umumnya, ada kora-kora, bianglala, kereta mini, dan lain-lain. Karena penasaran, aku dan temanku Ulpeh memutuskan untuk mengunjungi pasar malam tersebut seusai tarawih. Kami mencoba kora-kora ala-ala, yang bahkan harga tiketnya saat itu mungkin sekitar 7000 saja hahaha. Bagaimana sensasinya? Seram! Bahkan lebih seram dibanding kora-kora ancol yang tentu ukurannya lebih besar. Bisa jadi karena si kora-kora itu dijalankan dengan tenaga manusia (di awal ada mas-mas berotot yang bertugas mendorong kora-kora itu biar bisa bergerak) jadi rasanya lebih tidak safety (?) Ditambah dengan suara deritan besi dan engselnya yang seakan-akan mengatakan bahwa engselnya bisa patah kapanpun dan kami penumpangnya akan terhempas (?) Terakhir adalah TIDAK ADA REM-nya!! Lho? Ya, yang menjadi rem-nya adalah si mas-mas berotot tadi, jadi dia akan mulai mengganduli sisi kora-kora agar lama-lama terhenti. Nah, kalau mas-nya lagi iseng nggak mau jadi rem gimana? Itulah kenapa kora-kora versi ini jauh lebih seram! Hahahahaha.
Uji Nyali dengan Kora-Kora Pasar Malam


Aku kangen Ramadan tahun 2019

Aku kangen Ramadan tahun 2019, dimana di tahun itulah pertama kalinya aku menghabiskan Ramadhan sendirian (Yah, maksudku sebelumnya aku hidup bersama orang tuaku selama 18 tahun dan saat kuliah S1 pun aku memilih untuk mengontrak satu rumah dengan sahabat-sahabatku, jadi aku selalu bersama-sama saat menghabiskan ramadan). Di tahun itu aku dan sahabatku sudah memasuki dunia kerja yang tentunya membuat kami tinggal terpisah satu sama lain, membuatku pertama kalinya merasakan hidup sendirian yang tentunya awalnya sangat sulit bagiku yang ekstrovert ini. 
Masjid Al Barkah, Tebet
Masih teringat, sepulang kerja aku akan mencari-cari takjil dan makanan di depan Masjid Al Barkah, Tebet; yang berhubung lokasinya hanya 15 m dari kosanku. Favoritku tentu nasi kuning dan tape ketan susu, kedua makanan itu adalah nasi kuning dan tape ketan susu terenak yang pernah kucoba selama ini, yap kalian harus mencobanya! 

Bersyukurnya di Ramadhan tahun 2019, 2 orang sahabatku yaitu Ulpeh dan Deci sering sekali menginap di kosanku, yah setidaknya bulan Ramadhan itu tidak sepenuhnya aku sendirian hahaha. Mereka berdua akan kuajak menikmati kuliner di depan Masjid Al Barkah atau di dekat Pasar Jaya Bukit Duri. Mereka berdua pun berpendapat hal yang sama bahwa nasi kuning dan tape ketan susu di depan Masjid Al Barkah adalah nasi kuning dan tape ketan susu terenak! Saking seringnya kami membeli makanan tersebut, ibu penjual nasi kuning dan uda tape ketan susu sampai mengenal kami bertiga. Hmm sepertinya saat wabah korona ini berakhir nanti, aku akan mengunjungi lagi nasi kuning dan tape ketan susu tersebut. Semoga penjualnya senantiasa diberi kesehatan. Aaamiin

Sehabis melaksanakan tarawih di Al Barkah, biasanya kami langsung memesan makanan via ojol ke Burger King Tebet yang rencana awalnya sih buat makan sahur. Namun, berhubung sehabis tarawih kami malah mengobrol ngalor ngidul sampai tengah malam (maklum lah ya, namanya juga cewek lagi kumpul), akhirnya tengah malam itu kami kelaparan dan memakan si burger king hahaha. Terus waktu sahur? Ya kami merebus mie instan dan makan lagi. Duh, gimana nggak makin gendut coba?

Cuap-Cuap Terakhir

Well, itu dia tulisan panjang kali lebar-ku tentang sepenggal kisah Ramadan 3 tahun terakhir ini. Menuliskannya kembali menyadarkanku bahwa aku harus selalu bersyukur di setiap momen yang aku jalani sekarang terlepas bagaimanapun itu, karena aku tidak tahu apakah di masa depan aku masih bisa merasakannya lagi dan yang pasti momen-momen yang pernah terjadi di masa lalu pastilah memberikan 'ibrah atau pelajaran untuk diriku di masa sekarang atau di masa depan. 

Terlepas ramadan tahun ini yang berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, tentunya kita sebagai umat muslim seyogyanya menyambut ramadan sebagaimana Rasulullah pun menyampaikan datangnya Ramadan sebagai kabar gembira karena banyaknya kebaikan yang berlimpah dalam berbagai bentuknya.

Ramadan tahun ini yang berbeda atau tidak sesemarak tahun-tahun sebelumnya pun seharusnya bukan menjadi bahanku untuk mengeluh atau membuat sedih diri sendiri. Betapa banyak kabar menyedihkan yang kuterima, dari seorang Ibu di Serang yang meninggal setelah 2 hari sebelumnya tidak makan, dari tetanggaku yang meninggal akibat positif COVID-19, dari teman dekatku yang baru saja diPHK karena perusahaan tempat dia bekerja bangkrut tidak memiliki pemasukan selama wabah COVID-19, dari teman dekatku yang harus melalui puasa dan lebaran sendirian di perantauan karena adanya larangan mudik dan pembatasan transportasi, teman dekatku yang calon suaminya di PHK akibat wabah COVID-19 saat mereka baru mulai menjajaki hubungan yang lebih serius; itu semua masih merupakan kasus individual belum terhitung kasus kumulatif seeprti total pegawai yang kehilangan pekerjaan akibat COVID 19, total orang yang meninggal, dll. Dari situ tentunya tidak patut kalau aku masih mengeluh dan lebih baik melakukan semampuku untuk membantu mereka yang kesusahan.

Semoga Allah segera mencabut wabah COVID-19 ini di muka bumi ini. Aaaamiin


Ditulis di hari pertama Ramadan 1441H