Sebagai penutup tahun 2020 ini -dengan segala suka-duka yang telah terlewati- gw ingin menuliskan suatu hal yang baru kali ini gw sadari betapa pentingnya, betapa butuhnya, dan betapa nikmatnya merasakan hal itu, yaitu damai. Ya, kedamaian hati. Kalian bisa menyebut dengan istilah lain: ketentraman hati/jiwa, ketenangan hati/jiwa. Di titik ini, kalau gw diminta mendefinisikan apa itu kebahagiaan, maka gw akan dengan mantap menjawab: hati yang damai, tentram, dan tenang.
Di titik ini, kalau gw diminta mendefinisikan apa itu kebahagiaan, maka gw akan dengan mantap menjawab: hati yang damai, tentram, dan tenang.
Damai |
Damai sendiri menurut gw menjadi suatu barang yang mahal. Apalagi di jaman seperti sekarang ini, dimana informasi mudah sekali didapat termasuk informasi yang bahkan kita tidak berniat untuk tahu pun, kita tetap mendapat informasinya. Yang menjadi masalah adalah informasi tersebut tidak selalu berupa informasi baik, tapi juga informasi buruk, yang mungkin berdampak buruk pada hati, pikiran, dan perasaan kita; baik secara disadari maupun tidak. Tidak dipungkiri banyak kasus dari kita (dan tentunya termasuk gw) baik itu secara sadar maupun tidak sadar membandingkan kondisi hidup kita dengan orang lain dan sayangnya kondisi hidup orang lain yang kita bandingkan itu adalah kondisi yang "lebih" dari kita. Dampaknya? Tentu tetap ada yang termotivasi untuk meningkatkan kualitas hidupnya, namun tak sedikit pula yang justru merasa minder, merasa tidak berguna, merasa cemas, merasa sedih, menjadi kurang bersyukur dengan kondisi hidupnya, bahkan parahnya bisa menjadi iri-dengki hingga ingin agar kenikmatan yang diperoleh orang lain itu dicabut/dihilangkan. Naudzubillah min dzalik.
Banyaknya informasi yang masuk ke dalam otak kita entah itu baik ataupun buruk ikut berkontribusi pada "ruwet"nya pemikiran kita, atau kalau dalam bahasa Jawa ada istilah "kemrungsung". Contohnya saja di tahun 2020 khususnya di periode COVID-19 ini, sejak awal 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2020, tak henti-hentinya diri kita digempur informasi negative. Mulai dari munculnya wabah di Wuhan, orang terkonfirmasi positif pertama di Indonesia yang kemudian diikuti dengan panic buying di berbagai supermarket; jumlah masker yang tak memadai hingga harus antri di apotik hingga 2 jam hanya untuk mendapat 2 helai masker saja; update info setiap hari tentang jumlah pasien positif dan kematian; lalu kabar dari saudara, teman, atau tetangga yang terkonfirmasi positif padahal kita sempat berkontak dengan mereka; lalu merasa mengalami gejala-gejala seperti COVID-19 dilanjutkan dengan mengoogling tentang gejalanya yang malah semakin membuat panik; dan banyak lagi tak bisa disebutkan satu-persatu. Bayangkan saja, berita-berita negative itu kita konsumsi setiap hari. Bahkan beberapa kali gw bertemu kasus, dimana orang tersebut mungkin secara tidak sadar terobsesi untuk mengetahui semua berita yang ada, ingin menjadi orang yang paling update informasi dan merasakan kepuasan di dalamnya, bahkan sampai tahap merasa cemas/gelisah apabila dirinya tidak update informasi. Berita-berita artis pun yang sebenarnya tidak terlalu berdampak (atau bahkan memang sama sekali tidak berdampak) pada kehidupan kita, mau tidak mau kita konsumsi saat kita membuka feeds sosial media, atau portal berita di hp kita, atau di televisi. Intinya adalah terlalu banyak informasi yang masuk ke otak kita.
Tak sedikit penelitian, salah satunya survei yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA), yang menyebutkan bahwa terlalu banyak mengkonsumsi informasi (terlepas apakah itu informasi positif maupun negatif) bisa berdampak pada mood yang menurun, kelelahan, sulit tidur, serta pikiran yang menjadi cemas dan khawatir [1, 2]. Di penelitian lain juga disebutkan bahwa paparan berita negative berkontribusi pada keadaan mood, munculnya pikiran khawatir dan cemas, bahkan memperburuk masalah pribadi yang tidak ada relevansinya secara spesfik dengan paparan berita [3]. Belum lagi terkait dengan sosial media, dimana penggunaan berlebihan hingga ke taraf adiksi terutamanya pada orang-orang yang melakukan vaguebooking berpengaruh pada kesehatan mental dengan munculnya gejala-gejala seperti kesepian, pikiran untuk bunuh diri, kecemasan (social enxiety), dan menurunnya empati [4]. Bagi kalian yang belum tahu, vaguebooking sendiri merupakan suatu perilaku pasif-agresif memposting suatu status atau gambar di media sosial (biasanya instagram, twitter, atau facebook) dengan tujuan mencari perhatian dan mendapatkan respon dari teman atau follower [5]. Tentunya sebagian besar dari kita pernah melakukan hal ini bukan, tidak terkecuali diri gw sendiri. Di usia gw yang ke-24 ini, yang bisa dibilang sudah "agak" dewasa, gw suka malu sendiri -dan sangat amat menyesal tentunya- membayangkan kelakuan-kelakuan gw jaman dahulu atau bahkan baru beberapa bulan lalu dimana gw memposting sesuatu hanya untuk cari perhatian. Meh. Setelah dipikir-pikir lagi, gw nggak tahu letak dimana esensinya mencari perhatian manusia, toh kalaupun yang diinginkan adalah pujian, apalah arti sebuah pujian karena pujian manusia hanya sepanjang lidahnya. Atau kalau yang diinginkan adalah rasa simpati, toh buat apa, karena gw sendiri sudah punya tempat untuk bercerita dan berkeluh kesah yaitu orang tua dan teman terdekat gw yang memang benar-benar peduli dengan gw, dan tentunya Allah; jadi ngapain lagi cari simpati dari orang lain. Tapi it's ok, itu semua sudah berlalu dan jadi pelajaran buat gw untuk menjadi lebih baik dan dewasa ke depannya.
Contoh vaguebooking + bonus meme |
Selain cemas & khawatir, hal lain yang bisa menghilangkan kedamaian dalam hati adalah rasa sedih. Rasa sedih yang gw maksud disini adalah rasa sedih yang berkepanjangan. Tentunya dalam hidup kita pernah dikecewakan atau disakiti, juga mengalami kegagalan. Ada yang ditinggal nikah mantan, ditipu rekan bisnisnya, punya keluarga atau lingkungan yang toxic, dikhianati teman, difitnah, gagal keterima PTN, orang tua atau kerabat meninggal, mengalami kesempitan ekonomi, konflik dengan mertua dan ipar, skripsi yang tak kunjung di ACC oleh pembimbing, terlilit hutang, dan banyak lagi. Yang jelas hidup kita sebagai manusia tentunya tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, itu hal yang tak bisa kita elakkan. Mengalami rasa sedih itu wajar, namun apabila kita terus memperpanjangnya dan memikirkannya terus menerus dalam waktu yang lama akan berpengaruh pada hati dan perasaan kita. Tindakan memperpanjang dan memikirkan terus menerus (repetitive thingking) ini disebut dengan ruminating, gw sendiri sudah pernah membahasnya di post ini. Ruminating jika dilakukan berkepanjangan bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental [6].
Cemas, Khawatir, dan Sedih
Ketiga jenis perasaan inilah yang bisa menghilangkan kedamaian dan ketentraman hati. Bahkan dari ketiga perasaan ini bisa memunculkan hal-hal buruk lainnya, misalnya orang yang cemas dan khawatir bisa jadi akan sulit berpikir positif, di bayangannya hanya ada pikiran-pikiran negative yang bahkan belum tentu atau memang tidak terjadi; yang kemudian berefek pula pada mudahnya berburuk sangka. Contoh nyata yang gw amati dan alami sendiri dari lingkungan di sekitar gw: Ibu X meminta ART-nya untuk membeli obat di apotik dekat rumah, tak dinyana sudah 1 jam ART tersebut belum kunjung kembali ke rumah. Ibu X merasa cemas dan khawatir, hingga muncul pikiran-pikiran negative "ngapain sih kok bisa lama banget? Kan apotiknya deket. Jangan-jangan dia pergi main nih, kesempatan mumpung lagi keluar malah dipakai buat main". See? Tanpa ada bukti, sudah menerka-nerka sendiri, terkaan yang negative pula. Hingga kemudian si ART pulang melaporkan bahwa alasan dia lama pergi karena obat yang akan dibeli stock-nya habis di apotik dekat rumah, sehingga pergi ke apotik lain yang lebih jauh dan ternyata harus mengantri panjang. Tuh kan! Bentuk cemas dan khawatir lain yang gw temui juga di lingkungan sekitar gw adalah kecemasan akan keamanan: dimana si orang ini bolak-balik mengecek pintu untuk memastikan apakah sudah terkunci atau belum padahal jelas-jelas sudah terkunci, atau saat mengendarai kendaraan melewati suatu jalan muncul pikiran-pikiran negative seperti takut kalau tiba-tiba muncul pencopet/penjambret/begal atau malah kuntilanak, pocong, dan sejenisnya. Atau juga cemas dalam hal kebersihan, tidak percaya kalau baju yang sudah dicuci oleh ART atau laundry itu sudah bersih, jadi harus mengulang lagi mencuci karena khawatir baju tersebut kurang bersih. Gw sendiri yang tidak merasakan dan mengalami perasaan-perasaan itu saja merasa sesak saat menulis contoh-contoh kasusnya, apalagi orangnya langsung yang mengalami. Nggak bisa gw bayangin gimana "kemrungsung"nya dan sesaknya dada orang-orang yang mengalami kecemasan dan kekhawatiran berlebihan ini.
Hal lain yang juga merupakan manifestasi dari rasa cemas, khawatir, dan sedih adalah overthinking. Overthingking adalah perilaku memikirkan sesuatu secara berlebihan dan terus menerus, yang dipicu oleh kekhawatiran akan suatu hal mulai dari masalah sepele dalam kehidupan sehari-hari, masalah besar, hingga trauma akan masa lalu [7]. Sepertinya term overthinking menjadi populer mulai tahun 2020 ini, salah satu pemicunya adalah kondisi pandemi COVID-19 yang membuat kita berdiam diri di rumah terus ditambah paparan media tentang profil-profil CEO muda kaya raya dengan umur masih di bawah 30 tahun, seakan-akan menjejali kita generasi milenial dan yang sedang masuk usia dewasa muda akan definisi "kesuksesan" serta ekspektasi akan kesempurnaan. Lalu tanpa sadar dan membanding-bandingkan diri sendiri, kurang bersyukur, dan terjadilah overthinking.
Ingat itu! |
Saat mau maju presentasi: "Entar gimana ya? Bisa ngomong lancar nggak ya", "Nanti audiens-nya ngetawain gw nggak ya?", "Kalau nanti gw salah ngomong gimana ya?", "Kalau pas presentasi tiba-tiba gw blank gimana ya?", "Kalau entar gw pingsan gimana ya?", "Kalau pas gw presentasi, tiba-tiba ada meteor jatoh gimana ya?".
Melihat feed instagram seorang selebgram sekaligus pengusaha sukses: "Kok dia bisa sukses gitu ya?", "Kok gw gini-gini aja?, "Gw bisa kayak dia nggak ya?", "Ortu gw bangga ama gw nggak ya?", "Dia makan apa ya?" "Kalau gw dah mati dulu sebelum sukses gimana ya?".
Keinget masa lalu dengan mantan: "Kok dia bisa mutusin gw ya?", "Gw salah apa ya?", "Apakah gw kurang ganteng?", "Kenapa dulu gw nggak berjuang dulu ya?, "Kok dia bisa cepet move on ya?".
Ngelihat temen kelas izin ke toilet untuk BAB: "Kok ada orang yang bisa boker di sekolah ya?", "Kira-kira bakal disiram nggak ya?", "Kira-kira toilet mana yang dia pakai buat boker?", "Kira-kira bekas toilet yang dia pakai bakal ninggalin bau nggak ya?".
Oke, sepertinya gw jadi ikutan "gila" dengan menulis kemungkinan-kemungkinan pikiran overthingking ini hahaha. Yang jelas overthingking ini sangat mengganggu tidak hanya bagi si orangnya saja, tapi bagi lingkungan sekitarnya. Saat overthingking ini dilakukan terus menerus maka bisa mengganggu kualitas hidup seperti: insomnia, muncul anxiety dreams, menurunkan performa kerja, menjadi insecure, meningkatkan risiko terjadinya depresi, cenderung mengurangi interaksi sosial dengan orang lain, dan mengganggu kesehatan fisik seperti sakit kepala, sesak nafas, jantung berdebar, sakit kepala, hingga tekanan darah tinggi [7]. Ada satu meme yang menurut gw kocak dan menampar banget buat kita-kita yang masih overthinking.
Till death |
Rasa cemas, khawatir, dan sedih tentunya wajar dialami oleh kita manusia. Namun saat perasaan itu terlalu berlebihan, maka akan mengganggu kehidupan kita. Tak jarang juga, menjadi pemicu penyakit-penyakit mental seperti: anxiety disorder, obsessive compulsive disorder, post traumatic stress disorder, depresi, dan lain-lain. Tentunya munculnya penyakit mental bukan disebabkan oleh satu penyebab tunggal misal dari perasaan cemas-khawatir-sedih berkepanjangan saja, melainkan juga ada faktor-faktor lain misal ketidakseimbangan senyawa kimia dalam otak, lingkungan, kondisi fisik tertentu, dan pengaruh genetik. Menjadi seorang pasien mental ilness tentunya bukanlah hal yang diinginkan, pasien harus menjalani pengobatan dan terapi dalam jangka waktu bulanan hingga tahunan, bahkan ada yang sampai seumur hidup. Tentunya hal ini membutuhkan komitmen yang kuat dan biaya yang tidak sedikit (oke, ini untuk yang berobat secara pribadi, jika dengan BPJS maka gratis). Belum termasuk efek samping dari obat-obat yang dikonsumsi. Oleh karena itu, bagi kita yang alhamdulillah-nya masih diberi mental yang sehat, sebisa mungkin kita mengontrol hati dan perasaan kita dan selalu berpikir positif agar hati dan pikiran kita tetap damai dan tenang. Merasakan cemas, khawatir, dan sedih tentu hal yang wajar; tapi jangan sampai menjadi berkepanjangan. Buat teman-teman yang sedang menderita mental illness, tidak perlu berkecil hati. Tuhan memilih kalian untuk menghadapi ujian ini karena kalian memang mampu untuk menghadapinya. Jadi tetap semangat!
Laa Khaufun Alaihim wa Laa Hum Yahzanuun
Ada satu kalimat yang ternyata beberapa kali diulang-ulang dalam Al Qur'an yaitu "Laa khaufun alaihim wa laa hum yahzanuun". Frasa tersebut diulang sebanyak 12 kali di Al Qur'an di antaranya di surat Al Baqarah, Ali Imran, Al Ma'idah, Al An'am, Al A'raaf, Yunus, dan Al Ahqaf [9]. Apabila kita perhatikan surat-surat tersebut maka kalimat tersebut diturunkan oleh Allah baik di periode Makkah dan Madinah. Kalimat tersebut difirmankan Allah dalam konteks penyebutan sifat-sifat orang yang beriman. Penyebutannya yang berkali-kali hingga diturunkannya di 2 periode kenabian, menunjukkan seberapa pentingnya kalimat tersebut. Memang apa sih artinya? Secara harfiah kalimat tersebut berarti
"Tiada rasa takut pada diri mereka dan tidak pula mereka bersedih"
Jika kita tinjau per kata
- "Khauf" berarti takut, takut yang dimaksud adalah takut akan masa depan
- "Hazan/Huzn" berarti sedih, sedih yang dimaksud adalah sedih akan masa lalu
Entah kenapa saat mengetahui hal ini gw merasa tertampar. Setiap membaca Al Qur'an gw belum pernah memerhatikan dengan benar-benar kalimat ini. Namun di suatu momen dimana gw merasakan cemas, khawatir, dan sedih secara bersamaan; lalu atas petunjuk Allah, gw menemukan kalimat ini. Kalau istilah anak zaman sekarang "relate banget". Yes, rasa cemas dan khawatir memang biasanya terkait dengan masa depan, sesuatu yang tidak pasti; sedangkan rasa sedih terkait dengan masa lalu yang mungkin kita masih belum move on atau masih sakit hati. Gw sadar mungkin selama ini yang membuat hati gw belum tenang dan damai adalah adanya rasa cemas, khawatir, dan sedih ini. Pencapaian, harta benda, atau travelling -hal-hal yang gw pikir bisa membahagiakan- ternyata tidak berpengaruh pada kedamaian, ketentraman, dan ketenangan hati, rasa cemas-khawatir-sedih itu masih ada. Allah sendiri menjanjikan akan menghilangkan perasaan cemas, khawatir, dan sedih tadi untuk orang-orang yang beriman kepadaNya.
"Barang siapa yang benar-benar mengikuti petunjuk-Ku (Al Qur'an), maka ia tidak akan merasa takut, khawatir, dan sedih" Q.S. Al Baqarah:38
Hal ini menunjukkan betapa mahalnya rasa damai itu. Betapa eksklusive-nya memiliki rasa damai karena hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Gw jadi teringat suatu kajian dimana Pak Ustadz-nya menyebutkan suatu kalimat yang diucapkan oleh para salaf. Di momen itu gw masih belum ngeh alias belum ngena di hati dengan kalimat tersebut, namun sekarang setelah melewati berbagai hal selama 2020 ini, gw jadi mulai mengerti dan memahami kalimatnya:
"Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan (ketenangan) yang ada di hati kami, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang (untuk merebutnya)" [10]
Ikhlas, Sabar, Syukur, dan Tawakal
Keempat kata ini: ikhlas, sabar, syukur, dan tawakal; adalah hal yang selalu diajarkan di agama gw, yaitu agama Islam. Mungkin di agama-agama lain pun sama. Gw juga mendapat 4 kata ini dari seorang psikiater yang gw tonton channel youtubenya yaitu dr.Andri. Di channel youtube beliau, lebih banyak membahas tentang gangguan kecemasan dan psikosomatik; saran yang sering beliau ulang-ulang untuk pasien dan audiensnya adalah ikhlas, sabar, syukur, dan tawakal. Dah itu aja. Padahal beliau ini beragama Budha, jadi ajaran tentang 4 hal tersebut pun berarti mungkin memang termaktub juga di ajaran agama Budha. Setelah gw pikir-pikir, memang 4 hal tersebut adalah kunci untuk menghilangkan perasaan cemas, gelisah, khawatir, dan sedih.
- Ikhlas
- Sabar
"Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan"
- Syukur
“I heard this story about a fish, he swims up to an older fish and says: ‘I’m trying to find this thing they call the ocean.’ ‘The ocean?’ the older fish says, ‘that’s what you’re in right now.’ ‘This’, says the young fish, ‘this is water. What I want is the ocean!’”
Adegan di Film Soul yang sukses bikin termehek-mehek |
- Tawakal
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” Q.S. Ath-Thalaq:2-3
- Dzikir
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" Q.S. Ar Ra'du:28
Cuap-Cuap Terakhir
Kayaknya sampai disini tulisan gw tentang "damai". Gw nggak menyangka kalau tulisan ini akan sepanjang ini hahaha. Sebenarnya, gw sendiri awalnya ragu untuk membuat tulisan ini di blog pribadi karena gw tipikal orang yang kurang suka men-share isi perasaan hati ke khalayak umum. Namun berhubung banyak insight dan pelajaran kehidupan yang gw dapatkan sampai menemukan esensi "damai" ini, gw memutuskan untuk menshare ini via post di blog, karena siapa tahu bisa bermanfaat bagi yang membaca, who knows. Tulisan ini juga menjadi reminder untuk gw ke depannya untuk selalu menjaga kedamaian dan ketenangan hati gw..
Semoga kita semua selalu bisa menjaga ketakwaan kita kepada Allah SWT dan selalu dilimpahi hati yang damai dan tentram. Aaaamiiin.
Wassalamu'alaikum warrahmatullah wabarakatuh
Referensi:
Heid, M. (2020, Mei 19). You Asked: Is It Bad for You to Read the News Constantly? (Time) Retrieved from https://time.com/5125894/is-reading-news-bad-for-you/
Mazalin, D., & Klein, B. (2008). Social Anxiety and the Internet: Positive and Negative Effects. E-Journal of Applied Psychology, 4(2), 43-50.
Johnston, W. M., & Davey, G. C. (2011). The psychological impact of negative TV news bulletins: The catastrophizing of personal worries. British Journal of Psychology, 88(1), 85-91.
Berryman, C., & Ferguson, C. J. (2018). Social Media Use and Mental Health among Young Adults. Psychiatric Quarterly, 89, 307–314.
Parrack, D. (2012, February 15). What Is Vaguebooking? 5 Classic Examples. Retrieved from Make Use of: https://www.makeuseof.com/tag/imbecilic-art-vaguebooking/
Claycomb, M. A., Wang, L., Sharp, C., Ractliffe, K. C., & Elhai, J. D. (2015). Assessing Relations between PTSD’s Dysphoria and Reexperiencing Factors and Dimensions of Rumination. PLOS ONE, 10(3), e0118435.
Nareza, M. (2020, June 16). Hati-Hati, Dampak Overthinking Bisa Berakibat Fatal. Retrieved from Alodokter: https://www.alodokter.com/hati-hati-dampak-overthinking-bisa-berakibat-fatal
Ankrom, S. (2020, April 17). When Depression and Anxiety Occur Together. Retrieved from very well mind: https://www.verywellmind.com/depression-and-anxiety-2584202
Al-Jaizy, H. (2016, January 1). Tahukah Anda: Maksud dari “Laa Khaufun Alaihim wa Laa Hum Yahzanuun”? Retrieved from Nahi Munkar: https://www.nahimunkar.org/tahukah-maksud-laa-khaufun-alaihim-wa-laa-hum-yahzanuun/
Rawai’ut Tafsir Ibnu Rajab 2/134, Darul ‘Ashimah, cet.I, 1422 H, Syamilah
Wahyudi, A. (2008, July). Hakikat Sabar (Bag. 1). Retrieved from muslim.or.id: https://muslim.or.id/217-hakikat-sabar-1.html
Taslim, A. (2010, Oktober). Menggapai Ketenangan Hati dengan Mengingat Allah (1). Retrieved from muslim.or.id: https://muslim.or.id/4783-menggapai-ketenangan-hati-dengan-mengingat-allah-1.html